Recent News

0

Sepenggal Kisah "Balada 2009/2010"

Balada a.k.a. Barisan Delapan D Spansa bisa di bilang grup/organisasi kelas di spansa pasuruan. anggota Balada adalah semua siswa kelas 8D tahun ajaran 2009/2010. Waktu itu Balada bisa di bilang kelas yang "paling" di antara kelas-kelas 8 yang lain. "paling" nakal, "paling" rame, tapi menurut aku Balada itu "paling" asyik, "paling" seru n "paling" kompak.
Anak-anak Balada tuh bisa di bilang paling komplit. Ada anak yang pendiem, pinter, lucu, jail, aneh, sampai anak yang superaktif semua ada di Balada. Pokoknya Balada oke bangel lah..,
Balada kelas yang full music.. :D
ai miss iiuh Balada...














0

Taufik Hidayat the "Champion of Childern"

Taufik Hidayat terpilih oleh UNICEF INDONESIA sebagai salah satu ikon program kampanye “PENDEKAR ANAK”. Hal tersebut diumumkan pada sebuah konferensi pers yang dilaksanakan Selasa, 24 November 2009 di XXI Lounge, Plaza Senayan, Jakarta , Indonesia.
Kepedulian Taufik Hidayat terhadap anak-anak bersinergi dengan Badan Pendidikan dan Anak-anak Dunia (UNICEF). Pebulutangkis terpopuler Indonesia itu pun didapuk sebagai Pendekar Anak. UNICEF sudah melihat sosok Taufik sebagai public figure yang peduli terhadap anak sejak dua tahun lalu. Hari Selasa (24/11/2009) ini, Taufik akhirnya dikukuhan sebagai Pendekar Anak. “Saya baru bergabung, tapi membantu anak Indonesia juga tidak harus melaliu UNICEF. Saya mensosialisasikan karena saya sebagai atlet dan figur publik,” ujar Taufik.
Selain Taufik, masih ada sembilan tokoh lain yang juga bergabung menjadi Pendekar Anak. Beberapa di antara mereka adalah dari kalangan artis seperti Ferry Salim, Nina Tamam dan Sogi Indra Dhuaja. Taufik yang beristrikan Ami Gumelar dan kini menjadi ayah dari Natarina Alika Hidayat (dua tahun) mengaku prihatin dengan kondisi banyak anak Indonesia yang kurang diperhatikan. “Saya melihat anak sekarang yang banyak turun ke jalan dan anak-anak yang sudah merokok. Sangat prihatin, saya sering berpikir bagaimana anak saya nanti?” ujar pebulutangkis 29 tahun itu setengah bertanya. “Saya kerja sama dengan produk, dan khusus ke anak-anak, saya terjun langsung. Saya hidup tak sendiri, saya harus membantu orang lain. Harapan saya, saya bisa membantu menutupi kekurangan dari yang menjadi masalah anak-anak,” kata Taufik.
Dalam tugasnya sebagai Pendekar Anak, Taufik dan rekan-rekannya akan melakukan kampanye untuk lebih peduli kepada nasib anak Indonesia dan membantu mengedukasi anak-anak untuk selalu mencapai mimpi serta kemampuannya tertinggi, baik itu melalui olahraga maupun bidang lainnya.
0

Demi Bulu Tangkis Lilyana Hanya Mengecap Bangku SD

Di usia 12 dia meninggalkan rumah sebagai pemula. Di usia 21 dia kembali ke rumah sebagai jutawan. Di usia 12 dia memutuskan meninggalkan sekolah. Di usia 21 dia salah satu pemain bulu tangkis terbaik Indonesia – ganda campuran adalah spesialisasinya. Di kancah internasional, Lilyana Natsir menempati peringkat kedua dunia untuk ganda campuran.
Sembilan tahun Lilyana “menukarkan” hidupnya dengan bulu tangkis. Sembilan tahun bulu tangkis menjadikan dia bintang yang naik – turun podium kehormatan. “Orang tua saya menghargai keputusan saya meninggalkan sekolah. Syaratnya harus serius,” ujarnya
Gadis asal Manado itu mematuhi syarat orang tuanya, Beno Natsir dan Olly Maramis. Hasilnya? Sepanjang kurun 2000-2001, dia memenangi berbagai kejuaraan di tingkat nasional nomor ganda putri. Dia menjadi finalis Singapura Terbuka pada 2004 dan Swiss Terbuka 2005 serta semifinalis All England 2005.
Bersama pasangannya, Nova Widianto, Lilyana menjuarai Indonesia Terbuka 2005, SEA Games 2005, dan Asian Badminton Championship 2006. Tak diunggulkan pada Kejuaraan Dunia di Anaheim, Amerika Serikat, pada 2005, Lilyana – Nova membawa pulang gelar juara.
“Terharu dan bangga bisa memberikan emas buat negara,” ujarnya. Seusai dia berlaga, Beno dan Olly meneleponnya, menyatakan betapa bangga keduanya kepada putri kecil mereka.
Saat ke Amerika, dia satu-satunya atlet putri dalam kontingen bulu tangkis Indonesia. Toh, Lilyana tidak jengah. Gadis belia ini amat tomboi dalam penampilan sehari-hari. Rambutnya pendek, dicat merah. Lemari bajunya dipenuhi kaus dan jins. Harum parfum Calvin Klein yang masih menunjukkan identitas kewanitaannya.
Lahir di Manado, Sulawesi Utara, 9 September 1985, Lilyana datang dari keluarga pencinta bulu tangkis. Di waktu senggang, dia bersama ibu dan pembantunya kerap mengisi waktu dengan bermain badminton di depan rumah. Melihat bakat dalam diri si putri bungsu, orang tuanya mendaftarkan dia ke klub PB Pisok di Manado.
Pada 1997, dia hijrah ke klub PB Tangkas di Jakarta. Usianya 12 tahun ketika itu. Bagi seorang gadis kecil, sendirian dan jauh dari keluarga ibarat prahara. Tiap malam, Lilyana kenyang menangis. Kerap dia tergoda untuk menyerah dan kembali ke Manado.
Kala itu, Lilyana menjadi atlet paling kecil di klub. Para seniornya di klub, yang kebanyakan dari suku Batak, memanggilnya dengan nama kesayangan Butet.
Genap setahun merantau, Butet pulang ke Manado untuk berlibur. Suasana rumah yang hangat membuatnya enggan kembali ke Jakarta. Tapi ibunya dengan tegas melarang. “Mereka bilang sudah kepalang tanggung,” Butet menirukan ucapan kedua orang tuanya.
Kerja keras gadis kecil itu tidak sia-sia. Dia dipanggil masuk pemusatan latihan nasional (pelatnas) pada 2002. Tujuh jam tiap hari Butet berlatih di hall bulu tangkis Cipayung. Dan mencatatkan prestasi demi prestasi.
Olahraga bulu tangkis mengalirkan penghasilan jumbo untuk Butet. Rekening pribadinya berisi hingga miliaran rupiah. Kontrak per tiga bulannya di pelatnas saja mencapai Rp 100 juta. Kakaknya, Kalista Natsir, seorang dokter, sempat “iri”. Dan siapa yang tidak?
Di usia semuda itu, dengan modal pendidikan hanya sekolah dasar, Butet mampu membeli mobil Nissan X-Trail. Dua pekan lalu, dia mendapat satu mobil Yaris sebagai bonus prestasi. Nona Menado ini berniat membeli sebuah rumah di Cibubur. “Penghasilanku lebih dari cukup,” ujarnya.
Semua ini harus dibayar mahal dengan latihan ketat setiap hari yang kerap membosankan. Butet memupus rasa bosan dengan nonton film, jalan-jalan ke mal, atau makan di luar bersama kawan-kawannya.
Sesekali dia mengisi akhir pekannya dengan dugem atau bermain biliar. Ditemani secangkir kopi, Lilyana betah berjam-jam menyodok bola biliar. Dia juga gemar bermain game di komputer atau menonton televisi di kamarnya yang berukuran 4 x 4 meter persegi.
Liburan panjang dan Natal adalah saat yang amat dia nantikan. Butet pasti pulang kampung. Semua masakan Manado dilalapnya, termasuk sup tikus hutan. Dia menyimpan cita-cita menjadi seorang pelatih. Tapi memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
“Sudah terlalu banyak ketinggalan kalau harus mulai dari awal,” ujarnya. Dia menukarkan pendidikannya untuk bulu tangkis. Boleh jadi, tidak sia-sia: bulu tangkis membawa Lilyana Natsir menjelajahi dunia jauh sebelum usia 21.
sumber: TEMPO
Back to Top